Arab,
Kehidupan dan Masyarakatnya
Oleh : Ririn Widiyastuti
Sastra Arab, Universitas Al-Azhar
Indonesia
Abstrak
Saat
ini, Arab adalah suatu rumpun bangsa yang diperhitungkan dalam percaturan
politik dan ekonomi dunia. Tempat tinggal masyarakat keturunan bangsa semit ini
bertransformasi secara tajam dari awalnya hanya hamparan gurun pasir yang luas,
kini menjadi kota-kota metropolitan yang modern dan canggih sebagaimana
kota-kota di Eropa dan Amerika. Pun dengan masyarakatnya. Dalam tulisan ini
akan dipaparkan gambaran Arab secara umum dari zaman jahiliyah hingga modern.
Keyword
: Arab, jahiliyah, modern.
A. Pendahuluan
Transisi
peradaban sebuah bangsa dari zaman kuno atau klasik hingga modern adalah bahan
kajian yang menarik sebagai materi pembuka sebelum masuk pada pembahasan
pranata dan budayanya. Salah satu rumpun bangsa yang menarik untuk dikaji
adalah Arab. Arab, sebagai salah satu peradaban manusia paling kuno, ia
menyimpan segala keistimewaan dan ke-khas-an tersendiri. Mulai dari kondisi
alam, masyarakat, budaya dan sumber daya alamnya hingga ketatanegaraannya.
Bangsa
yang pernah memayungi dua pertiga dunia dengan kekayaan budaya, agama dan
khazanah keilmuwan ini adalah penyumbang terbesar dalam masa renaissance Eropa
dan Amerika saat ini. Dewasa ini keadaan sudah terbalik, Eropa dan Amerika
justru penyumbang terbesar dalam modernisasi Arab. Dengan segala kelebihan dan
kekurangannya, Arab kini menjadi rumpun bangsa yang cukup disegani di dunia dan
tidak bisa dipandang sebelah mata.
Arab
Dulu
Ketika
kita mendengar kata ‘Arab’, hal pertama yang terlintas di pikiran kita ialah
suatu negeri di bagian barat benua Asia, bersebelahan dengan teluk atau
semenanjung arab. Yang terhampar di dalamnya gurun pasir yang sangat luas,
cuaca yang sangat panas dan terik, dan kehidupan yang sangat keras bagi makhluk
hidup yang tinggal di sana.
Terbayang pula binatang-binatang
tangguh yang kita kenal dengan onta, binatang ini bahkan mempunyai istilah
khusus yakni ‘سفينة الصهراء" “ atau ‘kapalnya
gurun pasir. Karena binatang ini satu-satunya binatang yang sanggup bertahan
hidup lama tanpa air. Dalam kegersangan gurun pasir, terdapat bagian yang subur
yang ditumbuhi banyak pepohonan kurma. Suku-suku arab badui hidup secara
nomaden, umumnya mereka mencari tempat yang dekat dengan sumber air dan padang
rumput. Ada juga yang benar-benar tinggal di gurun pasirnya dengan tenda.
Sekilas. Gambaran arab yang
didominasi oleh gurun pasir, tak mempunyai manfaat dan sumber penghidupan.
Hanya ada pasir dan pasir, air yang sangat langka, dan cuaca yang sangat panas.
Namun siapa sangka, jauh di bawah timbunan gurun pasir ysng seolah tak
bermanfaat itu, ada kekayaan alam yang luar biasa melimpah dan sangat
dibutuhkan oleh semua orang yang hidup di bumi ini. Minyak bumi, atau sering
disebut sebagai ‘emas hitam’ karena terlalu berharganya bagi manusia, tersimpan
rapi dan melimpah di perut bumi tanah arab.
Ketika
kita mendengar kata ‘Arab’, hal pertama yang terlintas di pikiran kita ialah
suatu negeri di bagian barat benua Asia, bersebelahan dengan teluk atau
semenanjung arab. Yang terhampar di dalamnya gurun pasir yang sangat luas,
cuaca yang sangat panas dan terik, dan kehidupan yang sangat keras bagi makhluk
hidup yang tinggal di sana.
Terbayang pula binatang-binatang
tangguh yang kita kenal dengan onta, binatang ini bahkan mempunyai istilah
khusus yakni ‘سفينة الصهراء" “ atau ‘kapalnya
gurun pasir. Karena binatang ini satu-satunya binatang yang sanggup bertahan
hidup lama tanpa air. Dalam kegersangan gurun pasir, terdapat bagian yang subur
yang ditumbuhi banyak pepohonan kurma. Suku-suku arab badui hidup secara
nomaden, umumnya mereka mencari tempat yang dekat dengan sumber air dan padang
rumput. Ada juga yang benar-benar tinggal di gurun pasirnya dengan tenda.
Sekilas. Gambaran arab yang didominasi
oleh gurun pasir, tak mempunyai manfaat dan sumber penghidupan. Hanya ada pasir
dan pasir, air yang sangat langka, dan cuaca yang sangat panas. Namun siapa
sangka, jauh di bawah timbunan gurun pasir ysng seolah tak bermanfaat itu, ada
kekayaan alam yang luar biasa melimpah dan sangat dibutuhkan oleh semua orang
yang hidup di bumi ini. Minyak bumi, atau sering disebut sebagai ‘emas hitam’
karena terlalu berharganya bagi manusia, tersimpan rapi dan melimpah di perut
bumi tanah arab.
Sepintas,
banyak orang ’ajami atau non arab
mengira bahwa suku-suku badui arab terdiri dari orang-orang udik yang berwatak
keras dan ganas, juga memiliki cara berfikir dan cara hidup yang sederhana dan
serba minimalis. Ternyata di balik watak keras dan ganas serta dalam kesederhanaan
mereka dalam cara hidup, terdapat ‘dzauq’ atau ‘passion’ atau selera dan gairah
dalam bidang kesusastraan yang mengagumkan.
Era di mana bangsa-bangsa lain masih
terkungkung dalam zaman batu, cara hidupnya masih dengan berburu dan meramu, di
saat tulisan masih jauh dari bayangan, masyarakat arab badui sudah sampai pada
puncak kesusastraan. Mereka berpikir dan berkarya jauh melesat dibanding
bangsa-bangsa lain, namun di era millennium ini malah meninggalkan mereka dalam
kemajuan iptek.
Pada
zaman jahiliyah mereka berkumpul tiap minggunya untuk memamerkan dan
berkompetisi dan untuk bersaing menjadi sastrawan terbaik se-Arab. Biasanya
kompetisi ini diadakan di pasar yang dikenal nama pasar Ukaz. Dalam kompetisi
ini, puisi terbaik akan digantungkan pada dinding Ka’bah dan ditulis dengan
tinta emas. Kumpulan puisi-puisi ini di istilah “Al-Mu’allaqoot” yang artinya
‘yang digantungkan’. Hal ini merupakan kebanggaan yang luar biasa bagi penyair
yang puisinya digantungkan pada Ka’bah.
Di sisi lain, hamparan gurun pasir
yang luas ini, adalah tameng bagi masyarakat Arab dari ancaman penjajahan. Di
abad pertengahan, pasca renaissance Eropa, negara-negara tropis menjadi
sasaran utama jajahan bangsa Eropa. Hal ini dikarenakan negara-negara tropis
memiliki hasil bumi yang dibutuhkan bangsa Eropa dan Amerika. Penjajahan ini
berlangsung selama berabad-abad lamanya.
Bangsa penjajah sama sekali tidak
melirik tanah arab. Terlebih ketika ketika kandungan hasil bumi di tanah Arab
belum ditemukan. Mereka sudah pesimis melihat kondisi alam dan cuaca yang
sangat tidak bersahabat. Hal ini menciutkan nyali mereka untuk masuk,
berekspedisi dan mengeksplorasi tanah arab.
Hingga ketika kandungan hasil bumi
yang begitu melimpah ditemukan, mulailah ego-ego para bangsa penjajah untuk
menguasasi bangsa-bangsa yang mendiami gurun pasir ini. Mulai dari
negara-negara arab yang kondisi cuaca dan alamnya tidak terlalu ganas.
Sedangkan negara-negara arab yang kondisi alamnya ganas seperti Arab Saudi
masih belum tersentuh.
Arab
Kini
Bangsa
Amerika dan Eropa mulai bias menyentuh Arab Saudi dan beberapa negara arab
lainnya melalui jalur diplomatik dan jalinan hubungan bilateral yang jelas.
Hubungan bilateral ini terjalin begitu intens dan semakin sering tukar menukar
barang dan jasa maupun duta bahkan budaya. Dalam teori kebudayaan, hubungan
atau proses ini di istilahkan sebagai Asimilasi.1
Asimilasi ini menjadi ajang
persaingan ego-ego antara dua negara yang terlibat. Ditambah pula dengan arus
globalisasi yang sangat deras di era millennium ini memberi pengaruh yang besar
terhadap perubahan budaya dan gaya hidup masyarakat arab. Budaya barat ternyata
lebih mempengaruhi masyarakat arab disbanding budaya arab yang mempengaruhi
masyarakat barat. Peristiwa ini di kenal dengan istilah ‘Westernisasi’2.
Westernisasi ini sebenarnya tidak
hanya menyerang tanah arab, hamper seluruh pelosok atau bagian dunia lain pun
terserang virus westernisasi. Baik negara-negara di bagian utara, selatan
bahkan timur jauh. Terlebih ketika perkembangan Informasi dan Teknologi atau IT
melesat dengan pesat, arus globalisasi semakin tak terbendung.
Khususnya di negara arab, asimilasi
budaya ini hamper tidak jauh berbeda dengan negara-negara di belahan bumi lain.
Kehidupan dan gaya hidup serta tata cara pergaulan, secara perlahan namun pasti
berubah atau minimal mendekati kehidupan, gaya hidup dan tata cara pergaulan
ala barat.
1.
Asimilasi adalah proses sosial
yang timbul apabila sekelompok manusia dengan kebudayaannya berhadapan dengan
unsur-unsur kebudayaan asing yang lambat laun diterima dan diolah ke dalam
budaya sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu.
2.
Westernisasi adalah
Mekkah dan Madinah, mungkin hanya
kedua kota suci ini yang terbebas dari westernisasi. Adapun kota-kota lain seperti
Riyadh, Jeddah dan kota-kota besar di seluruh semenanjung arab tak ubahnya
seperti Los Angeles dan Las Vegas di Amerika.
Tidak
hanya dalam ranah budaya, transisi perubahan dan perkembangan masyarakat Arab
juga terjadi di ranah politik dan pemerintahan. Misalnya dalam bentuk
pemerintahan negara-negara arab yang ada pada awalnya konstitusi kerajaan, kini
berubah menjadi bentuk presidential yang banyak diterapkan di negara-negara
barat. Pun demikian dengan aturan pemerintahandan hokum pidana perdata, mengadopsi aturan-aturan barat yang jauh
berbeda dengan hukum adat negara-negara arab di masa lalu, apalagi dari hokum
dan aturan islam yang menjadi agama resmi dan mayoritas negara-negara arab.
Arab Saudi dan Yordania adalah dua
contoh negara arab yang masih mempertahankan bentuk pemerintahan konstitusi
kerajaan di mana raja adalah pemimpin dan pengatur pemerintahan sekaligus.
Perpindahan tahta terjaga di lingkungan internal keluarga sang raja itu
sendiri. Pola paternalisasi atau jalur ayah atau laki-laki ini sudah diterapkan
dihampir semua kerajaan sejak zaman dahulu.
Adapun bentuk dan aturan
pemerintahan dan hukum positif atau hukum yang berlaku di negara-negara Arab
yang konon adalah bangsa yang hanya dipenuhi hamparan padang pasir, kini banyak
berdiri bangunan-bangunan megah nan modern, serta gedung-gedung pencakar
langit. Kini, negara-negara arab khususnya Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Kuwait,
Qatar dan yang lain adalah negara-negara Arab yang maju dan modern. Bukan lagi
masyarakat udik gurun pasir.
Daftar Pustaka
Kitab
“ القراءة”, سلسلة التعليم
اللغة العربية
Kitab
الأدب , سلسلة التعليم
اللغة العربية
Philipn
K Hitti. Dunia Arab Sejarah Ringkas. Bandung: Sumur Bandung (cetakan ke
tujuh)
Philip K. Hitti. History of
the Arabs. Serambi. Jakarta. 2010 (terjemahan)
Lapidus,
M. Ira. Sejarah Sosial Ummat Islam. Jakarta: Rajawali Press.
0 comments:
Post a Comment