Perekonomian kita saat ini masih jauh dari target
yang diharapkan. Hal itu bisa dilihat dari aspek daya beli masyarakat yang rendah,
ketidakmerataan distribusi barang, membanjirnya barang-barang import dan
semakin menjamurnya keberadaan para tengkulak yang ‘kejam’.
Fenomena keberadaan tengkulak memang bisa
dibilang suatu kewajaran, bahkan ia merupakan salah satu dari mata rantai pendistribusian
barang. Akan tetapi, dewasa ini tengkulak menjadi benalu bagi
perekonomian kita.
Posisi tengkulak berada diantara produsen dan
konsumen, ia menjembatani transaksi ekonomi keduanya. Posisi ini sangat
strategis untuk mengendalikan harga pasar. Dan disinilah ‘permainan’ dimulai.
Barang dari produsen ia beli dengan harga rendah lalu dijual ke konsumen dengan
harga tinggi. Hal ini menyebabkan rendahnya keutungan yang diperoleh produsen
dan daya beli masyarakat terhadap barang itu sendiri.
Tengkulak ‘kejam’ ini banyak berada di sektor
pertanian, perkebunan, perikanan dan pertambangan. Di mana justru sektor-sektor
ini adalah poros penting perekonomian Indonesia.
Sebagai contoh, harga bawang merah yang dijual
petani ke tengkulak berkisar Rp. 14.000,- sampai Rp.15.000,-/kg. Lalu tengkulak
menjual ke pedagang atau konsumen dengan harga Rp. 24.000,-/kg. Bahkan banyak
pedagang yang membeli dari tengkulak dan menjualnya lagi dengan harga yang
lebih fantastis yakni Rp. 35.000,-/kg. Hal ini pula yang terjadi di
sektor-sektor yang disebutkan diatas. Dan inilah penyebab utama rendahnya
kesejahteraan para petani, nelayan dan penambang di Indonesia.
Sehingga diharapkan dari Kementrian Perdagangan
bisa membuat kebijakan atau undang-undang yang mengatur dan membatasi
pergerakan para tengkulak ini. Agar bisa meningkatkan keuntungan produsen dan
daya beli masyarakat yang berimbas pada peningkatan kesejahteraan perekonomian
nasional.
0 comments:
Post a Comment